Wajah Bumi dan Bulan dilihat dari planet Saturnus hasil jepretan Cassini pada sabtu (20/7/2013) dini hari
Wahana antariksa Cassini akhirnya berhasil mengambil citra Bumi dari Saturnus. Citra diambil sesuai jadwal yang direncanakan sebelumnya, Sabtu (20/7/2013) dini hari antara pukul 04.27 dan 04.47 WIB.
Citra yang ditangkap Cassini dari jarak 1,44 miliar kilometer ini merupakan citra ketiga Bumi yang berhasil diambil dari Tata Surya bagian luar.
Sebelumnya, terdapat citra "Pale Blue Dot" yang diambil oleh wahana Voyager 1 pada tahun 1990 serta citra "Spot The Dot" yang diambil Cassini pada tahun 2006.
"Pale Blue Dot" diambil dari wahana voyager 1 tahun 1990
Dalam citra terbaru yang diterima Bumi sehari setelah
pemotretan ini, Bumi dan Bulan tampak berwarna perak, seperti sebuah
bintang yang bersinar. Bumi tampak sebagai lingkaran yang lebih besar,
sementara Bulan berada di bawahnya.
Berdasarkan informasi di
situs NASA, Minggu (21/7/2013), citra Bumi dan Bulan ini diambil dengan
filter BL1 dan CL2, dalam gelombang cahaya tampak merah, hijau, dan
biru.
Citra yang ditunjukkan kali ini belum merupakan citra yang
dikalibrasi. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA)
akan mengunggah citra yang telah dikalibrasi pada tahun 2014.
Citra
ini kembali mengingatkan bahwa Bumi dan manusia di dalamnya cuma bagian
kecil dari alam semesta. Semesta begitu luas, belum diketahui apakah
berbatas atau tidak, serta menyimpan begitu banyak misteri.
Apa yang bisa direnungkan manusia
saat melihat wajah Bumi dari Saturnus itu? Kiranya, refleksi astronom
ternama Carl Sagan (1934-1996) dalam buku Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space masih relevan.
Sagan
menulis refleksi itu setelah melihat wajah Bumi berupa titik biru
puncat (Pale Blue Dot) yang diambil wahana Voyager 1 pada tahun 1990,
citra pertama Bumi yang diambil dari bagian luar tata surya. Berikut
refleksi Sagan.
Dari titik yang sangat jauh ini, Bumi mungkin tidak menarik. Namun, bagi kita, Bumi berbeda.
Renungkanlah
lagi titik itu. Di sinilah titik itu. Itulah rumah. Itulah kita. Di
atasnya, semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal,
semua orang yang kamu pernah dengar, semua manusia yang pernah ada,
menghabiskan hidup mereka.
Segenap kebahagiaan dan
penderitaan kita, ribuan agama, ideologi dan doktrin ekonomi, setiap
pemburu dan pengumpul, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pendiri dan
penghancur peradaban, setiap raja dan petani, semua pasangan anak muda
yang sedang jatuh cinta, setiap ibu, ayah, dan anak-anak punya harapan
besar, penemu dan petualang, setiap guru moral, semua politisi yang
korup, setiap bintang besar, setiap pemimpin besar, setiap orang suci
dan pendosa dalam sejarah hidup spesies kita hidup di sana, di atas
setitik debu, melayang di dalam pancaran cahaya Matahari.
Bumi hanyalah panggung kecil di area kosmos yang luas.
Pikirkan
tentang sungai darah yang tumpah oleh jenderal dan raja-raja sehingga
dalam keagungan dan kemenangan itu dapat menjadi bagian kecil dari
sebuah titik. Pikirkan kekejaman yang dilakukan oleh penghuni dari salah
satu sudut dari piksel ini kepada penghuni dari sudut lain yang sulit
dibedakan dalam citra ini. Betapa sering kesalahpahaman terjadi, betapa
tega mereka membunuh satu sama lain, betapa dalam kebencian mereka.
Sikap kita, kesombongan kita, khayalan bahwa kita memiliki keistimewaan
di semesta ditantang oleh titik pucat ini.
Planet kita
adalah sebuah titik kesepian yang dibalut oleh kosmos yang gelap. Dalam
ketidakjelasan kita, dalam keluasan ini, tak ada tanda bahwa bantuan
akan datang dari luar untuk menyelamatkan kita dari kita sendiri.
Bumi
adalah satu-satunya dunia, sejauh ini, yang memiliki kehidupan. Tak ada
tempat lain, paling tidak dalam waktu dekat, bagi spesies kita bisa
bermigrasi. Berkunjung, ya. Tapi tinggal, belum. Suka atau tidak, untuk
saat ini Bumi adalah tempat kita berdiri.
Telah lama
dikatakan bahwa astronomi rendah hati dan memberikan pengalaman
membangun karakter. Mungkin tak ada demonstrasi yang lebih baik tentang
kebodohan kesombongan kita selain gambar ini. Bagi saya, ini
menggarisbawahi tanggung jawab kita untuk bersikap baik pada orang lain
serta melestarikan dan menghargai titik biru pucat, satu-satunya rumah
yang kita tahu.
semoga artikel diatas menjadikan renungan bagi kita, untuk menjadikannya inspirasi :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar